Hidroponik
substrat pada umumnya menggunakan media alami maupun buatan atau
campuran antara keduanya. Beberapa bahan alami yang dapat digunakan
sebagai media perakaran adalah pasir, kerikil, dan serbuk gergaji,
sedangkan media dari bahan buatan seperti vermikulit, rockwool, dan
polystyrene. Media tanam substrat rockwool merupakan media yang paling
banyak digunakan. Rockwool merupakan serat material sintetik yang
memiliki kapasitas menahan air yang tinggi. Menurut American Geological
Institute (1976) dalam Notohadinegoro (2006), rockwool berbentuk
menyerupai wol berupa anyaman serat-serat halus yang dibuat dari
terak-tanur (furnace slag) atau batuan tertentu dengan ledakan kuat
selagi bahan-bahan tersebut berada dalam keadaan lelehan. Bahan tersebut
mudah basah dan memiliki ruang udara yang baik (Swiader dan George,
2002).
Selain hidroponik substrat, terdapat pula sistem hidroponik larutan yang terdiri atas tiga teknik, yaitu:
1) Aeroponik.
Merupakan teknik menumbuhkan tanaman dengan akar yang tergantung di
udara dan menyemprotkan kepada akar secara terus menerus dengan larutan
nutrisi melalui sprayer.
2) Nutrient Film Technique (NFT).
Teknik ini ditemukan oleh The Glasshouse Research Institute, Inggris
pada tahun 1970. Tanaman ditumbuhkan pada parit yang sedikit landai atau
pada talang plastik. Larutan nutrisi mengalir mengikuti kemiringan,
menempel pada akar, kemudian keluar kembali menuju tempat penampungan
larutan. Peningkatan dan penurunan kemiringan dilakukan untuk mengatur
laju aliran larutan yang melalui akar dan mengikat oksigen untuk
kebutuhan akar tanaman.
3) Teknik Rakit Apung.
Teknik ini berbeda dengan NFT, dan cenderung memanfaatkan genangan
larutan nutrisi untuk pertumbuhan tanaman. Supaya tanaman tidak
tenggelam kedalam kolam larutan, tanaman ditopang menggunakan rakit dari
polystyrene atau gabus (Swiader dan George, 2002).
Faktor
utama penentu keberhasilan sistem hidroponik adalah penggunaan larutan
nutrisi. Pada umunya, larutan nutrisi mengandung semua elemen nutrisi
yang dibutuhkan tanaman. Konsentrasi nutrisi spesifik bervariasi
tergantung dari jenis tanaman, media tanam, dan sistem pertumbuhan yang
digunakan. Keasaman larutan juga perlu diperhatikan pada saat pembuatan
larutan nutrisi. Keasaman larutan atau pH yang umum digunakan pada
banyak jenis tanaman adalah 5,5 – 6,5. Pengawasan terhadap larutan juga
perlu dilakukan untuk mengetahui kelengkapan komposisi nutrisi maupun
peningkatan pH yang biasa terjadi pada saat pertumbuhan tanaman. Pada
beberapa lokasi, konsentrasi beberapa elemen seperti kalsium, sodium,
sulfat, klorida, dan bikarbonat pada larutan dapat menjadi penghambat
pertumbuhan tanaman yang cukup berat. Biasanya, hal tersebut dapat di
kendalikan dengan perlakuan terhadap air seperti penyaringan,
meningkatkan pertukaran ion, dan menambahkan beberapa bahan kimia lain
(Swiader dan George, 2002).
Berdasarkan
kebutuhan lingkungan dari sistem hidroponik, sistem tersebut akan lebih
baik jika dikembangkan pada lingkungan yang terkendali. Menurut Swiader
dan George (2002), lingkungan budidaya yang terkendali (CEA) merupakan
konsep modifikasi lingkungan alami untuk pertumbuhan tanaman yang
optimum. Yaitu dengan penggabungan manipulasi udara, temperatur pada
zona perakaran, kelembapan relatif, radiasi matahari, laju pertukaran
udara, konsentrasi karbon dioksida pada atmosfer, konsentrasi oksigen
pada zona perakaran (aerasi), serta nutrisi untuk mengontrol pertumbuhan
tanaman. Sasaran CEA adalah untuk mengurangi ketergantungan terhadap
iklim dan air serta untuk membiarkan tanaman dapat berproduksi pada
lingkungan alami yang terbatas dan menghambat pertumbuhan tanaman.
Kelembapan
relatif yang dibutuhkan pada sistem hidroponik umumya sebesar 75%.
Kelembapan yang terlalu rendah, sementara evapotranspirasi berlangsung
terus menerus, maka tanaman akan kehilangan air dalam jumlah banyak,
sehingga turgor (tekanan sel) akan melemah dan tanaman menjadi layu.
Menurut Sutiyoso (2004) jika kelembapan terlalu tinggi, evapotranspirasi
dan daya serap akar tanaman untuk mendapatkan nutrisi akan berkurang.
Kondisi ini dapat menyebabkan tanaman mengalami gejala etiolasi, yakni
tangkai lemah dan helaian daun tertekuk ke bawah (Karsono et.al, 2002).
Sebagai
sumber kehidupan, cahaya diperlukan tanaman untuk kegiatan fotosintesis.
Spektrum cahaya yang dianfaatkan oleh tanaman dan yang kasat mata
adalah gelombang pendek violet hingga gelombang panjang merah. Tanaman
juga memerlukan cahaya yang tidak kasat mata berupa cahaya ultra violet
dan infra merah (Karsono et.al, 2002). Kekurangan cahaya akibat kondisi
lingkungan dapat dikompensasikan dengan pemasangan lampu yang mengandung
sinar ultra violet atau sinar infra merah. Menurut Swiader dan George
(2002), penambahan pencahayaan dengan menggunakan High-Intensity
Discharge (HID) sodium vapor lights, dapat mengurangi umur pemanenan
tanaman berkisar antara 30 – 36 hari.
REFERENSI
Karsono, Sudibyo, Sudarmojo, dan Yos Sutiyoso. 2002. Hidroponik Skala Rumah Tangga. Agromedia Pustaka. Jakarta. 64 hal.
Notohadinegoro, Tejoyuwono. 2006. Faktor Tanah dalam Pengembangan Hortikultura. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Dies Natalis ke-40 UPN “Veteran” Yogyakarta, Yogyakarta, 5 Desember 1998.
Sutiyoso, Yos. 2004. Hidroponik ala Yos. Panebar Swadaya. Jakarta.
Swiader, John M., dan George W. Ware. 2002. Producing Vegetable Crops. Interstate Publisher, Inc. Illinois.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar