Pengolahan Pakan secara Pelleting (Pembuatan Pellet)
Pelleting merupakan
salah satu metode pengolahan pakan secara mekanik yang banyak
diterapkan di industri pakan unggas, khususnya ayam. Ayam merupakan
ternak yang bersifat selektif terhadap pakan, yaitu cenderung memilih
bahan pakan yang disukai. Ayam menyukai pakan berbentuk biji-bijian (grains)
terkait dengan morfologi sistem pencernaannya, yaitu memiliki paruh
untuk mematuk dan gizzard sebagai lokasi pencernaan secara mekanik.
Apabila pakan disediakan dalam bentuk mash yang
terdiri atas tepung dan biji-bijian, ayam akan memilih biji-bijiannya
saja sehingga konsumsi pakan tidak sesuai dengan kebutuhan nutrien. Hal
ini dapat dihindari dengan mengolah pakan menjadi bentuk yang mudah
dikonsumsi dan disukai ayam, yaitu menjadi bentuk pellet. Selain mudah
dikonsumsi oleh ayam, pellet juga mencegah perilaku ayam yang selektif
terhadap bahan pakan.
Pengolahan pakan menjadi bentuk pellet (pelleting) memiliki sejumlah keuntungan, antara lain meningkatkan konsumsi dan efisiensi pakan, meningkatkan kadar energi metabolis pakan, membunuh bakteri patogen, menurunkan jumlah pakan yang tercecer, memperpanjang lama penyimpanan, menjamin keseimbangan zat-zat nutrisi pakan dan mencegah oksidasi vitamin (Patrick dan Schaible, 1979). Stevent (1981) menjelaskan lebih lanjut keuntungan pakan bentuk pellet adalah meningkatkan densitas pakan sehingga mengurangi keambaan atau sifat bulky, dengan demikian akan meningkatkan konsumsi pakan dan mengurangi pakan yang tercecer. Selain itu, pellet juga memerlukan lebih sedikit tempat penyimpanan dan biaya transportasi jika dibandingkan dengan bahan-bahan pakan penyusun pellet.
Pengolahan pakan menjadi bentuk pellet (pelleting) memiliki sejumlah keuntungan, antara lain meningkatkan konsumsi dan efisiensi pakan, meningkatkan kadar energi metabolis pakan, membunuh bakteri patogen, menurunkan jumlah pakan yang tercecer, memperpanjang lama penyimpanan, menjamin keseimbangan zat-zat nutrisi pakan dan mencegah oksidasi vitamin (Patrick dan Schaible, 1979). Stevent (1981) menjelaskan lebih lanjut keuntungan pakan bentuk pellet adalah meningkatkan densitas pakan sehingga mengurangi keambaan atau sifat bulky, dengan demikian akan meningkatkan konsumsi pakan dan mengurangi pakan yang tercecer. Selain itu, pellet juga memerlukan lebih sedikit tempat penyimpanan dan biaya transportasi jika dibandingkan dengan bahan-bahan pakan penyusun pellet.
Kualitas Pellet
Durabilitas pellet yang tinggi berarti pellet tidak mudah hancur
Pemberian
pakan berbentuk pellet saja tidak cukup untuk memperbaiki performans.
Performans yang baik dapt dihasilkan dari pellet yang berkualitas baik
pula, dalam hal ini adalah kualitas bahan yang digunakan dan bentuk
fisik pelletnya. Hail penelitian menunjukkan bahwa FCR meningkat sebesar
2,4% saat ayam broiler diberi ransum kombinasi dari 75% pellet dan 25%
tepung apabila dibandingkan dengan ayam yang diberi 25% pellet dan 75%
tepung (Schleider, 1991 dalam Briggset al, 1999).
Pengolahan pakan menjadi bentuk pellet (pelleting) memiliki sejumlah keuntungan, antara lain meningkatkan konsumsi dan efisiensi pakan, meningkatkan kadar energi metabolis pakan, membunuh bakteri patogen, menurunkan jumlah pakan yang tercecer, memperpanjang lama penyimpanan, menjamin keseimbangan zat-zat nutrisi pakan dan mencegah oksidasi vitamin (Patrick dan Schaible, 1979). Stevent (1981) menjelaskan lebih lanjut keuntungan pakan bentuk pellet adalah meningkatkan densitas pakan sehingga mengurangi keambaan atau sifat bulky, dengan demikian akan meningkatkan konsumsi pakan dan mengurangi pakan yang tercecer. Selain itu, pellet juga memerlukan lebih sedikit tempat penyimpanan dan biaya transportasi jika dibandingkan dengan bahan-bahan pakan penyusun pellet.
Pengolahan pakan menjadi bentuk pellet (pelleting) memiliki sejumlah keuntungan, antara lain meningkatkan konsumsi dan efisiensi pakan, meningkatkan kadar energi metabolis pakan, membunuh bakteri patogen, menurunkan jumlah pakan yang tercecer, memperpanjang lama penyimpanan, menjamin keseimbangan zat-zat nutrisi pakan dan mencegah oksidasi vitamin (Patrick dan Schaible, 1979). Stevent (1981) menjelaskan lebih lanjut keuntungan pakan bentuk pellet adalah meningkatkan densitas pakan sehingga mengurangi keambaan atau sifat bulky, dengan demikian akan meningkatkan konsumsi pakan dan mengurangi pakan yang tercecer. Selain itu, pellet juga memerlukan lebih sedikit tempat penyimpanan dan biaya transportasi jika dibandingkan dengan bahan-bahan pakan penyusun pellet.
Kualitas Pellet
Durabilitas pellet yang tinggi berarti pellet tidak mudah hancur
Kualitas
pellet merupakan aspek yang penting baik bagi produsen pakan maupun
peternak. Kualitas pellet ditentukan dengan durabilitas, kekerasan (hardness)
dan ukuran. Kualitas pellet yang baik membutuhkan konsekuensi bagi
produsen pakan, yaitu berupa tingginya biaya produksi, tingginya energi
dan modal yang dibutuhkan. Bagi peternak unggas, kualitas pellet yang
baik akan menghasilkan konversi pakan yang rendah, pertambahan bobot
badan yang tinggi, dan meminimalkan pakan yang terbuang (Stark, 2006).
Menurut Behnke (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pellet
adalah formulasi (pengaruhnya sebesar 40%), conditioning (20%), ukuran partikel (20%), spesifikasi die (cetakan) dari mesin pellet (15%), dan pendinginan (5%).
Pengaruh tekanan uap menjadi kontroversi dalam industri pakan. Stevens
(1987) meneliti tentang pengaruh tekanan uap terhadap kualias pellet (20
dan 80 psig) tetapi tidak berpengaruh signifikan terhadap durabilitas
pellet maupun laju produksi. Ukuran partikel juga diteliti. Tidak ada
perbedaan durabilitas yang signifikan antara pellet yang kasar (1,023 μ), medium (794 μ), atau halus (551 μ).
Durabilitas pellet meningkat dengan peningkatan partikel halus seperti
gandum (72,4%) dan tepung kedelai (20,0%). Efisiensi penggilingan pellet
menurun dengan penurunan ukuran partikel hingga 12%.
Bahan pakan yang digunakan menentukan kualitas pellet secara
signifikan. Menurut Wood (1987), pengaruh protein mentah dan
terdenaturasi serta pati jagung mentah dan terdenaturasi sangat
mempengaruhi durabilitas dan kekerasan pellet. Pakan yang terbuat dari
isolat protein kedelai dan jagung dijadikan pellet dengan dan tanpa steam conditioning.
Pregelatinisasi dan denaturasi protein menghasilkan PDI (pellet
durability index) 70 sedangkan PDI pellet berbahan dasar mentah hanya
sebesar 19. Menurut Winowiski (1988), peningkatan jumlah gandum
meningkatkan PDI dari 32 menjadi 73, selain itu juga secara keseluruhan
meningkatkan kandungan protein pellet. Stevens (1987) membandingkan
durabilitas pellet yang mengandung 72,4% gandum dan 72,4% jagung.
Ternyata pellet yang mengandung 72,4% gandum memiliki PDI 7 poin lebih
tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa protein berperan penting bagi
peningkatan durabilitas pellet. Namun perusahaan pakan pada umumnya
menekankan pada penggunaan gelatin pati untuk meningkatkan durabililitas
pellet karena pati lebih murah daripada protein.
Dikatakan bahwa gelatinisasi pati disebabkan oleh penguapan (steam conditioning),
tetapi hasil Stevens (1987) tentang gelatinisasi dalam 100% ransum
berbahan dasar jagung justru membuktikan fakta yang berkebalikan dengan
opini umum. Menurut Stevens (1987), 58,3% pati tergelatinisasi saat
ransum mengalami proses pelleting kering dan 25,9% pati tergelatinisasi saat ransum mengalami steam conditioning hingga 80oC. Dari hasil penelitian tersebut diduga bahwa proses shearing secara mekanik dalam die (cetakan) alat pellet menyebabkan panas sehingga terjadi gelatinisasi. Efek pembasahan dari uap menurunkan panas dalam die sehingga menurunkan gelatinisasi. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Heffner dan Pfost (1973) dan Skoch et al. (1981) yang dikutip oleh Briggs et al. (1999) bahwa gelatinisasi timbul sebanyak 10 - 12% pada proses pelleting akibat steam conditioning.
Kedua penelitian tersebut menggunakan metode ekuivalensi pati. Stevens
(1987) tidak meneliti tentang jumlah gelatinisasi pati akibat conditioning,
tetapi menggunakan bahan dasar jagung tinggi minyak. Sebagai
perbandingan, jagung biasa hanya mengandung 3,5% sedangkan jagung tinggi
minyak mengandung 6,8% yang berbasis pada 100% bahan kering. Richardson
dan Day (1976) dalam Briggs et al. (1999) menunjukkan bahwa
penambahan lemak di atas 2% dari pakan finisher broiler berbahan
jagung-kedelai menghasilkan partikel penyusun pellet yang halus dan
nilai PDI yang rendah. Meskipun menurunkan kualitas pellet, penelitian
lebih lanjut sangat diperlukan untuk mengevaluasi pengaruh jagung tinggi
minyak terhadap pelletability (kemampuan bahan untuk diproses menjadi pellet).
Bungkil kedelai yang diolah secara mekanik (mechanically expelled soybean meal) juga merupakan bahan pakan tinggi minyak. Dibandingkan dengan bungkil kedelai yang diolah dengan ekstraksi solvent (solvent-extracted soybean meal),
bungkil kedelai mekanik mengandung 5% minyak lebih banyak sehingga
banyak digunakan dalam industri pakan. Bungkil kedelai jenis ini
menghasilkan pellet dengan kepadatan tinggi, artinya durabilitas lebih
tinggi sehingga tidak mudah hancur saat pengangkutan (Briggs et al., 1999).
Proses Pembuatan Pellet
Ada dua cara yang dapat ditempuh dalam pembuatan pakan berbentuk pellet, yaitu secara manual dan atau dengan menggunakan mesin (feedmill). Pembuatan pakan secara manual dilakukan dengan menggunakan alat-alat yang sederhana. Alat yang dipergunakan adalah sekop (paddle) atau drum yang dirancang dengan mengunakan prinsip kerja mixer (Pujaningsih, 2011).
Ada dua cara yang dapat ditempuh dalam pembuatan pakan berbentuk pellet, yaitu secara manual dan atau dengan menggunakan mesin (feedmill). Pembuatan pakan secara manual dilakukan dengan menggunakan alat-alat yang sederhana. Alat yang dipergunakan adalah sekop (paddle) atau drum yang dirancang dengan mengunakan prinsip kerja mixer (Pujaningsih, 2011).
Cara yang kedua dengan menggunakan mesin. Mesin pembuat pakan ini terdiri atas mesin-mesin penggiling (hammer mill), mesin penimbang (weigher), mesin pemusing (cyclone), mesin pengangkat/pemindah bahan (auger, elevator), mesin penghembus (blower), mesin pencampur (mixer), dan mesin pembuat pellet. Untuk pembuatan pellet menggunakan alat blower, boiler, mash bin, cooler, die, screw conveyor, mixer, vibrator dan transporter.
Seluruh bahan yang telah digiling ditimbang dengan menggunakan timbangan duduk. Selanjutnya, bahan–bahan tersebut dicampurkan. Pencampuran bisa menggunakan berbagai macam mesin pengaduk (mixer), tipe vertikal, tipe horisontal, drum mixer dan mixer yang biasa digunakan untuk mengaduk beton atau beton molen. Pencampuran bahan – bahan baku pakan bisa juga digunakan secara manual dengan menggunakan cangkul atau sekop dan beralaskan papan.
Proses pengolahan pellet terdiri dari 3 tahap, yaitu pengolahan pendahuluan, pembuatan pellet dan perlakuan akhir.
a. Proses pendahuluan
Proses pendahuluan bertujuan untuk pemecahan dan pemisahan bahan-bahan
pencemar atau kotoran dari bahan yang akan digunakan. Setelah seluruh
bahan baku disiapkan, tahap selanjutnya adalah menggiling bahan baku
tersebut. Tujuannya adalah untuk mendapatkan ukuran partikel yang
seragam--berbentuk tepung (mash). Peralatan yang digunakan adalah mesin
penggiling atau penghalus yang bisa digerakkan motor listrik atau motor
bakar yang bahan bakarnya bisa berupa bensin atau solar. Alat ini
dikenal dengan nama disk mill dan hammer mill.
Bahan
baku berupa jagung kuning, dedak, bungkil kedelai dan bungkil kelapa
digiling halus. Sementara itu, tepung ikan tidak perlu digiling lagi
karena bahan baku ini sudah dalam bentuk tepung. Lain halnya jika
menggunakan ikan lokal yang sudah dikeringkan, tetapi belum digiling
menjadi tepung. Dengan membuat bahan baku menjadi partikel yang lebih
kecil, laju oksidasi kemungkinan bisa berlangsung lebih cepat. Untuk itu
diperlukan cara untuk menekan laju oksidasi, yakni dengan menambahkan
antioksidan ke dalam bahan tepung tersebut, baik saat penggilingan
maupun setelah menjadi tepung.
Seluruh bahan yang telah digiling ditimbang dengan menggunakan timbangan duduk. Selanjutnya, bahan–bahan tersebut dicampurkan. Pencampuran bisa menggunakan berbagai macam mesin pengaduk (mixer), tipe vertikal, tipe horisontal, drum mixer dan mixer yang biasa digunakan untuk mengaduk beton atau beton molen. Pencampuran bahan – bahan baku pakan bisa juga digunakan secara manual dengan menggunakan cangkul atau sekop dan beralaskan papan.
Untuk bahan baku dengan jumlah sedikit, terlebih dahulu dilakukan pre-mixing atau
pencampuran awal. Bahan yang dicampur pada tahap awal meliputi vitamin,
mineral, kalsium karbonat, asam amino kristal, pemacu pertumbuhan,
koksidiostat dan antioksidan. Penimbangan bahan – bahan ini harus
dilakukan dengan timbangan yang mempunyai tingkat ketelitian tinggi.
Minimal
diperlukan waktu 15 menit untuk mencampur bahan pakan dengan
menggunakan mesin pencampur jenis beton molen supaya diperoleh campuran
yang merata. Apabila digunakanmixer horisontal, diperlukan waktu pencampuran lebih singkat.
Tahap akhir pencampuran adalah menambahkan bahan baku cairan, yaitu minyak kelapa dengan menggunakan sprayer atau
penyemprot sambil terus dilakukan pengadukan. Jika dalam formula pakan
diperlukan bahan baku cair, sebaiknya alat yang digunakan berupa beton
molen. Beton molen ini umumnya mempunyai dua kapasitas volume. Ini
berbeda halnya dengan mixerjenis lain yang mempunyai kapasitas beragam, hingga 1.000 kg campuran pakan setiap kali pengadukan (Pujaningsih, 2011).
b. Pembuatan pellet
Pembuatan
pellet terdiri dari proses pencetakan, pendinginan dan pengeringan.
Perlakuan akhir terdiri dari proses sortasi, pengepakan dan pergudangan.
Proses penting dalam pembuatan pellet adalah pencampuran (mixing), pengaliran uap (conditioning), pencetakan (extruding) dan pendinginan (cooling).
Proses conditioning adalah
proses pemanasan dengan uap air pada bahan yang ditujukan untuk
gelatinisasi agar terjadi perekatan antar partikel bahan penyusun
sehingga penampakan pellet menjadi kompak, durasinya mantap, tekstur dan
kekerasannya bagus. Proses conditioningditujukan untuk
gelatinisasi dan melunakkan bahan agar mempermudah pencetakan. Disamping
itu juga bertujuan untuk membuat pakan menjadi steril, terbebas dari
kuman atau bibit penyakit; menjadikan pati dari bahan baku yang ada
sebagai perekat; pakan menjadi lebih lunak sehingga ternak mudah
mencernanya; menciptakan aroma pakan yang lebih merangsang nafsu makan
ternak.
Proses conditioning dilakukan dengan bantuan steam boiler yang uapnya diarahkan ke dalam campuran pakan. Apabila penguapan dilakukan dengan mixer jenis
beton molen, proses penguapan dilakukan sambil mengaduk campuran pakan
tersebut. Penguapan tidak boleh dilakukan di atas suhu yang diizinkan,
yaitu sekitar 80°C. Pengukusan dengan suhu terlalu tinggi dalam waktu
yang lama akan merusak atau setidaknya mengurangi kandungan beberapa
nutrisi dalam pakan, khususnya vitamin dan asam amino. Dalam proses
pembuatan pakan ayam ras pedaging, penguapan tidak mutlak diperlukan.
Selama proses kondisioning terjadi penurunan kandungan bahan kering
sampai 20% akibat peningkatan kadar air bahan dan menguapnya sebagian
bahan organik. Proses kondisioning akan optimal bila kadar air bahan
berkisar 15 – 18%.
Sistem
kerja mesin pencetak sederhana adalah dengan mendorong bahan campuran
pakan di dalam sebuah tabung besi atau baja dengan menggunakan ulir (screw) menuju cetakan (die)
berupa pelat berbentuk lingkaran dengan lubang – lubang berdiameter 2 –
3 mm, sehingga pakan akan keluar dari cetakan tersebut dalam bentuk
pellet. Kelemahan sistem ini adalah diperlukannya tambahan air sebanyak
10 – 20% ke dalam campuran pakan, sehingga diperlukan pengeringan
setelah proses pencetakan tersebut. Penambahan air dimaksudkan untuk
membuat campuran atau adonan pakan menjadi lunak, sehingga bisa keluar
melalui cetakan. Jika dipaksakan tanpa menambahkan air ke dalam
campuran, mesin akan macet. Di samping itu, pellet yang keluar dari
mesin pencetak biasanya kurang padat.
Proses Conditioning
Berbeda
dengan mesin sederhana, sistem kerja mesin yang biasa digunakan di
industri pakan adalah dengan cara menekan atau menggiling bahan baku
pakan dengan menggunakan roda baja (roller) pada cetakan (die). Pellet yang keluar dari cetakan tersebut kepadatannya sangat baik.
die (cetakan pellet) tipe ring (kiri) dan flat (kanan)
die (cetakan pellet) tipe ring (kiri) dan flat (kanan)
Proses Conditioning
Selama proses conditioning terjadi peningkatan suhu dan kadar air dalam bahan sehingga perlu dilakukan pendinginan dan pengeringan. Proses pendinginan (cooling)
merupakan proses penurunan temperatur pellet dengan menggunakan aliran
udara sehingga pellet menjadi lebih kering dan keras. Proses ini
meliputi pendinginan butiran-butiran pellet yang sudah terbentuk, agar
kuat dan tidak mudah pecah. Pengeringan dan pendinginan dilakukan pada
tahap ini untuk menghindarkan pellet itu dari serangan jamur selama
penyimpanan
Pengeringan
pada intinya adalah mengeluarkan kandungan air di dalam pakan menjadi
kurang dari 14%, sesuai dengan syarat mutu pakan ternak pada umumnya.
Proses pengeringan perlu dilakukan apabila pencetakan dilakukan dengan
mesin sederhana. Jika pencetakan dilakukan dengan mesin pellet sistem
kering, cukup dikering anginkan saja hingga uap panasnya hilang,
sehingga pellet menjadi kering dan tidak mudah berubah kembali ke bentuk
tepung.
Proses
pengeringan bisa dilakukan dengan penjemuran di bawah terik sinar
matahari atau menggunakan mesin. Keduanya memiliki kelebihan dan
kekurangan. Penjemuran secara alami tentu sangat tergantung kepada
cuaca, higienitas atau kebersihan pakan harus dijaga dengan baik, jangan
sampai tercemar debu atau kotoran dan gangguan hewan atau unggas yang
dikhawatirkan akan membawa penyakit. Jika alat yang digunakan mesin
pengering, tentu akan memerlukan biaya investasi dan biaya operasional
yang cukup tinggi.
c. Perlakuan akhir
Penentuan
ukuran pellet disesuaikan dengan jenis ternak. Dinyatakan dalam Pasifik
(1981) bahwa diameter pellet untuk sapi perah dan sapi pedaging adalah
1,9 cm (0,75 inci), untuk anak babi 1,5 cm (0,59 inci) dan babi masa
pertumbuhan 1,6 cm (0,62 inci), untuk ayam pedaging periode starter dan
finisher 1,2 cm (0,48 inci). Garis tengah pellet untuk pakan dengan
konsentrasi protein tinggi adalah 1,7 cm (0,67 inci) dan 0,97 cm (0,38
inci) untuk pakan yang mengandung urea.
Referensi
Winowiski. 1988. Wheat and pellet quality.
http://lintangrinastiti.blogspot.com/2013/06/pengolahan-pakan-secara-pelleting.html
Referensi
Behnke,
K.C. 1994. Factors Affecting Pellet Quality. Maryland Nutrition
Conference, Department of Poulty Science and Animal Science, University
of Maryland.
Briggs, J.L. D.E. Maier, B.A. Watkins, dan K.C. Behnke. 1999. Effect of ingredients and processing parameters on pellet quality.
Pujaningsih, R. I. 2011. Teknologi Pengolahan Pakan. Modul kuliah. Universitas Diponegoro, Semarang.
Stevens,
C. A. 1987. Starch gelatinization and the influence of particle size,
steam pressure and die speed on the pelleting process.
Ph.D.Dissertation. Kansas State University, Manhattan, KS.
Winowiski. 1988. Wheat and pellet quality.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar