Fermentasi Hijauan Pakan Ternak (Silase)

Silase adalah hijauan makanan ternak (HMT) yang diawetkan dengan proses ensilasi. Tujuan utama pembuatan silase adalah untuk memaksimumkan pengawetan kandungan nutrisi yang terdapat pada hijauan atau bahan pakan ternak lainnya, agar bisa di disimpan dalam kurun waktu yang lama, untuk kemudian di berikan sebagai pakan bagi ternak. Sehingga dapat mengatasi kesulitan dalam mendapatkan pakan hijauan pada musim kemarau. Di banyak negara, hasil ensilasi hijauan segar memiliki nilai ekonomi yang tinggi sebagai pakan ternak. Negara-negara eropa, seperti: Belanda, Jerman dan Denmark memproses hampir 90% hijauan yang dihasilkan dari lahan pertaniannya sebagai bahan makanan ternak dengan teknik ensilasi. (Wilkinson et al., 1996).
Ensilasi adalah metode pengawetan hijauan berdasarkan pada proses  fermentasi asam laktat yang terjadi secara alami dalam kondisi anaerobik. Selama berlangsungnya proses ensilasi, beberapa bakteri mampu memecah selulosa dan hemiselulosa menjadi berbagai macam gula sederhana. Sedangkan bakteri lain memecah gula sederhana tersebut menjadi produk akhir yang lebih kecil (asam asetat, laktat dan butirat). Produk akhir yang paling diharapkan dari proses ensilasi adalah asam asetat dan asam laktat. Produksi asam selama berlangsungnya proses fermentasi akan menurunkan pH pada material hijauan sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain yang tidak diinginkan. Proses ensilasi dalam silo/fermentor kedap udara terbagi dalam 4 tahap, yaitu (Weinberg and Muck, 1996; Merry et al., 1997):
a. Tahap I – Fase aerobik.
Tahap ini pada umumnya hanya memerlukan waktu beberapa jam saja, fase aerobik terjadi karena keberadaan oksigen di sela-sela partikel tanaman. Jumlah oksigen yang ada akan berkurang seiring dengan terjadinya proses respirasi pada material tanaman serta pertumbuhan mikroorganisme aerobik dan fakultatif aerobik, seperti khamir dan enterobakteria. Selanjutnya, enzim pada tanaman seperti protease dan carbohydrase akan teraktivasi, sehingga kondisi pH pada tumpukan hijauan segar tetap dalam batas normal (pH 6.5-6,0).
b. Tahap II – Fase fermentasi.
Tahap ini dimulai ketika kondisi pada tumpukan silase menjadi anaerobik, kondisi tersebut akan berlanjut hingga beberapa minggu, tergantung pada jenis dan kandungan hijauan yang digunakan serta kondisi proses ensilasi. Jika proses fermentasi berlangsung dengan sempurna, bakteri asam laktat (BAL) akan berkembang dan menjadi dominan, pH pada material silase akan turun hingga 3.8-5.0 karena adanya produksi asam laktat dan asam-asam lainnya.
c. Tahap II – Fase stabil.
Tahap ini akan berlangsung selama oksigen dari luar tidak masuk ke dalam silo/fermentor. Sebagian besar jumlah mikroorganisme yang berkembang pada fase fermentasi akan berkurang secara perlahan. Beberapa jenis mikroorganisme toleran asam dapat bertahandalam kondisi stasioner (inactive) pada fase ini, mikroorganisme lainnya seperti clostridia dan bacilli bertahan dengan menghasilkan spora. Hanya beberapa jenis mikroorganisme penghasil enzim protease dan carbohydrase toleran asam serta beberapa mikroorganisme khusus, seperti Lactobacillus buchneri yang dapat tetap aktif pada level rendah.
d. Tahap IV – Fase pemanenan (feed-out/aerobic spoilage) .
Fase ini dimulai segera setelah silo/fermentor dibuka dan silase terekspose udara luar. Hal tersebut tidak terhindarkan, bahkan dapat dimulai terlalu awal jika penutup silase rusak sehingga terjadi kebocoran. Jika fase ini berlangsung terlalu lama, maka silase akan mengalami deteriorasi atau penurunan kualitas silase akibat terjadinya degradasi asam organik yang ada oleh khamir dan bakteri asam asetat. Proses tersebut akan menaikkan pH pada tumpukan silase dan selanjutya akan berlangsung tahap spoilage ke-2 yang mengakibatkan terjadinya kenaikan suhu, dan peningkatan aktifitas mikroorganisme kontaminan, seperti bacilli, moulds dan enterobacteria (Honig and Woolford, 1980).
Untuk menghindari terjadinya kegagalan dalam proses pembuatan silase, maka perlu dilakukan pengontrolan dan optimalisasi pada setiap tahapan ensilasi. Pada tahap I, dibutuhkan teknik filling material hijauan yang baik kedalam silo, sehingga dapat meminimalisir jumlah oksigen yang ada di antara partikel tanaman. Teknik pemanenan tanaman yang dikombinasikan dengan teknik filling yang baik diharapkan dapat meminimalisir hilangnya karbohidat terlarut (water soluble carbohydrates) akibat respirasi aerobik ketika hijauan berada di luar maupun di dalam silo, sehingga terdapat lebih banyak gula sederhana yang tersisa untuk proses fermentasi asam laktat pada tahap II. Proses ensilasi tidak dapat dikontrol secara aktif ketika telah masuk pada tahap II dan III. Pada tahap IV, diperlukan silo/fermentor yang benar-benar kedap udara untuk meminimalisir kontaminasi aerobik selama penyimpanan. Segera setelah silo/fermentor dibuka, silase harus diberikan kepada ternak hingga habis.
Faktor-Faktor yang Perlu di Perhatikan dalam Proses Pembuatan Silase:
a. Tingkat kematangan dan kelembaban bahan
Tingkat kematangan tanaman yang tepat memastikan tercukupinya jumah gula fermentasi (fermentable sugar) untuk proses pertumbuhan bakteri silase dan memberikan nutrisi maksimum untuk ternak. Tingkat kematangan juga memiliki pengaruh yang besar pada kelembaban hijauan pakan ternak, tercukupinya kelembaban untuk fermentasi bakteri sangat penting dan membantu dalam proes pembungkusan untuk mengeluarkan oksigen dari silase
b. Panjang pemotongan
Panjang pemotongan yang paling bagus adalah antara ¼-1/2 inci, tergantung pada jenis tanaman, struktur penyimpanan dan jumlah silase. Potongan material tanaman dengan panjang tersebut akan menghasilkan silase degan kepadatan yang ideal dan memudahkan pada saat proses pemanenan. Mengatur mesin pemotong dengan hasil potongan yang terlalu halus dapat memberikan dampak negatif terhadap produksi lemak susu  dan timbulnya dislokasi abomasums  pada sapi perah karena faktor awal yang tidak memadai.
Memotong hijauan pakan ternak terlalu panjang juga dapat mengakibatkan silase sulit untuk memadat, serta udara akan terperangkap di dalam silase yang pada akhirnya mengakibatkan pemanasan dan penurunan kualitas. Pemotongan secara berulang secara umum tidak disarankan, kecuali  jika kondisi bahan silase terlalu kering.
c. Pengisian, pembungkusan, dan penutupan
Proses pemanenan dan pengisian silo harus dilakukan secepat mungkin. Penundaan pengisian akan berakibat pada terjadinya proses respirasi yang berlebih dan meningkatkan loss hasil silase. Pembungkusan dilakukan sesegera mungkin pada saat akan menyimpan silase di bunker silo. Setelah diisi, silo harus ditutup rapat dengan bungkus kedap udara untuk menghindari penetrasi udara dan air hujan ke dalam silase. Plastik berkualitas baik yang dibebani menggunakan ban umumhya akan menghasilkan penutupan yang memadai.  (Sumber http://akbar.blog.ugm.ac.id/2013/02/17/fermentasi-hijauan-pakan-ternak-silase/ )

Tidak ada komentar :

Posting Komentar